Rabu, 27 Mei 2009

Masa Kanak-kanak

Masa paling menyenangkan. Seluruh waktu diisi dengan bermain dan meniru. Bergaul dengan siapa saja, berlaku seperti apa, bebas! Maklum masih anak-anak. Dari semua keasyikan itu banyak kenangan yang tertoreh di masa kanak-kanak. Saat menangis, marah, bandel, manja, penurut, teruputar kembali seperti film dokumenter di saat dewasa. Jadi ingat bagaimana orang tua selalu berkata, "kalau anak kamu nakal, ingatlah masa kecilmu dulu!"
Di waktu kecilku dahulu aku tergolong anak perempuan yang tomboi. Teman sepermainanku adalah laki-laki. Maklumlah, di lingkungan tempat tinggalku tidak ada anak perempuan sebayaku. Kalaupun ada, rumahnya sangat jauh rumahnya.
Bermain dengan anak laki-laki mengasyikkan. Mereka tidak cengeng dan cenderung mengalah padaku. Permainan mereka menantang dan 'beda'.
Permainan paling mengasyikkan adalah air. Hehehe...jadi ingat si Bolang. Ya, semacam itulah. Berkubang di selokan hanya sekadar mengambil ketam atau manangkap ikan cupang, mencari tiram di dasar sungai, atau naik getek di atas rawa-rawa.
Baiklah, akan aku ceritakan pada kalian permainan air di masa kecilku.
Seperti biasa di waktu sore aku ikut-ikutan kakak laki-lakiku ngumpul dengan teman-teman sepermainannya. Meskipun usiaku lima tahun di bawah mereka, aku merasa beruntung di terima di dalam kelompok itu. Kami berjumlah 7 orang. Sebagai satu-satunya perempuan dalam kelompok itu, aku tidak punya hak suara. Aku hanya nurut dan ikut. Setelah mengatur strategi, cee...biar tidak ketahuan dan kena marah orang tua, kami segera bergegas berjalan tempat yang 'aman'. Kami harus berjalan cukup lama dan jauh. Setelah sampai, kami segera membuka pakaian luar dan bergaya seperti Tarzan. Satu persatu kami berlari ke atas tanggul kali yang tinggi dan melompat, hup....byuur....! Tidak puas dengan riak gelombang yang diciptakan oleh lemparan tubuh kami di air, kami memanjat pohon yang berdiri di tepi sungai. Semakin tinggi tempat kami melompat, semakin besar riak yang ciptakan. Selesai dengan berlomba membuat riak gelomabang, perang air pun di mulai. Sudah tidak terhitung berapa kali aku meneguk air kali. Kadang-kadang aku sapai terbatuk-batuk dan muntah-muntah meminum air mentah. Begitu matahari hampir tenggelam, kami segera naik ke daratan. Barulah terasa di daratan kalau kami terlalu lama berendam di air. Angin petang menampar tubuh kami membuat kami menggigil. Bibir kami biru-biru dan kisut, demikian pula dengan kulit pada jari tangan dan kaki. Mata kami merah dan rambut menjadi lengket, kempel.
Kami berjalan dengan pakaian dalam yang masih basah menuju rumah. Sengaja kami berlaku demikian agar begitu hampir sampai rumah pakaian yang melekat di badan sudah kering dan kami bisa memakai pakaian luar kami sehingga tidak ketahuan kalau habis main air.
Sepandai-pandainya kami mengelabuhi orang tua, akhirnya ketahuan juga. Kalian pasti tahu kawan, pakaian kami memang kering, tetapi rambut kami yang menggumpal tanda kena air tidak bisa disembunyikan. Kalian pasti tahu bagaimana bau rambut kami. Benar! Anyir karena bau air kali, lumpur, dan keringat menempel di sana.
Ibu yang sudah dari sore menantikan kehadiranku dan kakak laki-lakiku berdiri di pintu depan rumah. Mata ibu menelusuri bagian-bagian tubuh kami satu persatu dengan teliti. Aku dan kakakku menunduk karena merasa bersalah dan takut. Dengan suaranya yang lembut ibu menyuruh kami mendekat.
Ibu segera melepas semua pakaian yang kami kenakan. Seperti biasa ibu segera mengangkatku dan menaruh di atas pangkuannya. Seperti ritual saja. Setiap kami bandel ibu segera mengeroki kami. Dengan posisi tengkurap di paha ibu aku hanya diam pasrah. Rasa sakit dan perih gesekan antara logam uang golden peninggalan belanda dan minyak tanah menggoreskan warna merah, kadang-kadang tidak ada warna sama sekali, memanjang seperti membentuk gambaran kerangka badan. Aku hanya menitikkan airmata sambil menahan isakan. Setelah puas dengan bagian belakang, ibu membalik tubuhku. Kini giliran dada dan perut menerima hukuman ibu. Setelah selesai mengerokiku, giliran kakak laki-lakiku mendapat perlakuan serupa. Kini giliranku menunggui kakak lelakiku menerima ganjaran dari ibu. Ayah hanya mengawasi kami. Ayah tidak pernah protes dengan hukuman yang diberikan ibu kepada anak-anaknya. Semua anak-anaknya pernah dan mendapat perlakuan yang sama, tidak terkecuali denganku, si bungsu. Ayah dan ibuku telah bersepakat bahwa hukuman dapat diberikan pada anak jika mereka melakukan kesalahan dan hukuman itu haruslah yang mendidik dan membawa kebaikan. Rupanya kerokan itulah pilihan mereka. Kerokan adalah salah satu cara pengobatan tradisional yang konon ampuh mengusir masuk angin. Selain murah dan mudah, kerokan tidak membawa efek kimiawi terhadap organ dalam tubuh.
Setelah dikerok secara bergantian kami mandi. Aku dimandikan ibu kemudian dibalur minyak kayu putik dan bedak talk, baru kemudian disuapi makan, sedangkan kakak lelakiku harus melakukannya semuanya sendiri.
Seperti yang sudah kutuliskan, banyak permainan air yang mengasyikkan, tetapi kali ini cukup cerita ini dulu yang kubagikan padamu kawan. (suta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar