Kamis, 04 Juni 2009

Bahasa Gendong

Desa Gendong merupakan sebuah desa kecil yang terletak di wilayah perbukitan. Desa Gendong termasuk wilayah kecamatan Semarang Timur. Desa Gendong diapit oleh Desa Sambiroto dan Desa Mangunharjo. Apabila menyusuri jalan beraspal yang kini membelah desa ke arah Timur, akan melewati perumahan Sendangmulyo, perumahan Dinar Mas, dan sampailah ke Kampus Undip Tembalang atau bisa juga menuju Banyumanik. Akan tetapi, yang paling menarik dalam perjalanan dari Desa Gendong menuju kampus UNDIP Tembalang atau Banyumanik adalah sebuah jalur pintas berupa tanjakan tajam dan menikung yang sangat terkenal bernama Sigar Bencah.
Saat ini Desa Gendong seperti Manohara cantik yang baru keluar dari sekapan Pangeran Kelantan. Desa Gendong yang dahulunya selalu diselimuti kabut saat menjelang malam dan di kala pagi menjemput siang, kini perlahan-lahan tampak jelas. Kabut yang menyelimutinya perlahan sirna oleh cahaya matahari yang langsung menghujamnya tanpa harus menerobos rimbun daun pepohonan atau pucuk ilalang yang melingkupinya. Apalagi semenjak bukit-bukit menjulang yang mengapitnya telah diratakan untuk dibangun perumahan dan perkantoran. Desa Gendong kini tidak hanya berteman sepi dan alam asli perbukitan. Modernitas telah merengkuhnya menuju wajah baru menyerupai wajah kota.
Desa gendong semula tidak diperhitungkan, kini tiba-tiba muncul di peta tata kota dan pengembangan daerah terpencil kota Semarang. Walaupun waktu tempuh dengan berkendara dari pusat kota Semarang ke Desa Gendong hanya 45 menit atau dari kota kampus UNDIP Tembalang adalah 15 menit, nama Desa Gendong nyaris tidak terdengar. Desa Gendong tertelan oleh ketenaran Tembalang sebagai ibukota kecamatannya atau tertindih oleh gempita keramaian pusat kota Semarang. Namun, kini tidaklah demikian. Para developer berlomba-lomba mengangkangi Desa Gendong dan sekitarnya untuk dijadikan tempat menanamkan investasi demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari proyek yang mereka jalankan.
Bentang alam telah berubah seiring dengan datangnya para pendatang dengan berbagai tujuan yang membawa langkahnya menapaki Desa Gendong. Para penggali tanah dan sopir truk berlomba-lomba mengeruk perbukitan. Bukit-bukit yang menjulang bersembulan memagari Desa Gendong dikikis dengan alat berat dan tanahnya pun dijual sebagai penutup lubang pondasi bangunan yang mengangga di kota-kota sekitarnya atau sebagai penimbun. Para developer memangkas puncak-puncak bukit yang nyaris menyundul awan menjadi sebuah bidang datar untuk dijadikan lahan perumahan. Seperti tidak habis akal, developer menyulap bibir jurang yang rawan dengan longsor sebagai kompleks perumahan murah tanpa memikirkan keselamatan jiwa penghuninya. Pendeknya, tidak sejengkal tanah pun dibiarkan menganggur tanpa menghasilkan uang. Sementara itu, jalur buntu yang mengisolasi desa dari daerah sekitarnya telah diterobos untuk memudahkan pengangkutan material pembangunan perumahan, sekaligus memberi nilai tambah pada harga jual perumahan.
Rupanya kehadiran para pendatang dengan berbagai kepentingan tersebut telah membawa dampak pada bahasa Gendong. Seperti halnya nama desa yang lamat-lamat, bahasa Gendong saat ini juga hampir tamat. Bahasa Gendong sekarang ini hanya dipergunakan oleh para orang tua saja, sedangkan generasi mudanya dalam berbahasa nyaris sudah tidak menampakkan ciri khas bahasa Gendong. Hal ini mungkin disebabkan oleh kawula muda Desa Gendong sudah berinteraksi dengan pengguna bahasa dari daerah di luar Gendong.
Seperti halnya slogan desa mawa cara, demikian pula halnya dengan Desa Gendong yang memiliki dialek sendiri. Akan tetapi, dialek Gendong sama dengan dialek desa di dekatnya, yaitu Desa Rowosari, Kelurahan Mangunharjo, dan Kelurahan Sambiroto. Oleh karena itu, muncul istilah bahasa Gendong, tetapi sangat berbeda dengan dialek semarangan.
Dialek Gendong mempunyai gaya sendiri yang mungkin disebabkan oleh kondisi desa dan penduduknya. Corak khas yang dimiliki bahasa Gendong sebagai alat komunikasi antarpenduduk memiliki karakter sesuai dengan masyarakat pendukungnya. Karakteristik bahasa ini bisa disebabkan oleh pengaruh geografis dan bisa juga karena pengaruh sosial ekonomi masyarakat pemakainya. Penanda pemakaian bahasa yang menunjukkan identitas geografis dan sosio-ekonomis tersebut berupa intonasi dan pilihan kata. Oleh karena itu, dalam ilmu bahasa, bahasa Gendong dikategorikan sebagai dialek.
Bahasa Gendong merupakan bahasa Jawa. Akan tetapi, kosakata yang dipakai oleh masyarakat Desa Gendong sebagai alat berkomunikasi dalam berinteraksi dengan sesama warga Desa Gendong dan dengan masyarakat desa sekitarnya tidaklah sama dengan kosakata bahasa Jawa versi Solo ataupun versi Jogja. Mungkin hal ini disebabkan oleh kondisi geografis desa yang dahulu merupakan daerah perbukitan dan masih jarang rumah penduduknya. Oleh karena itu, bahasa Gendong memiliki karakteristik intonasi yang tinggi dan cenderung disuarakan dengan cara setengah berteriak dan menurun. Jika dilihat dari sosio ekonomi, penduduk asli Desa Gendong adalah masyarakat kelas menengah ke bawah dengan mayoritas mata pencaharian petani dan berpendidikan rendah. Oleh karena itu disinyalir hal ini menyebabkan bahasa Gendong memiliki ciri khas berupa kosakata yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan kosakata bahasa Gendong disebabkan oleh penghilangan fonem, penggantian jenis fonem, dan penggantian letak fonem (huruf).
Rupanya pengembangan tatakota kota Semarang berupa pembangunan perumahan dan gedung perkantoran yang dipusatkan di wilayah Semarang Timur mulai tahun 2002 bisa dituding sebagai biang yang mengancam keberadaan bahasa Gendong dan memungkinkan punahnya bahasa tersebut pada beberapa tahun ke depan. Kondisi ini ditunjang oleh semakin pesatnya perkembangan masuknya alat transportasi umum yang melintasi wilayah Desa Gendong sehingga membuka jalur komunikasi dengan masyarakat Gendong dengan daerah lain. Selain itu, kehadiran para pendatang dari daerah lain dan luar Jawa yang rata-rata berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, berpendikan tinggi, dan mayoritas bermata pencaharian sebagai pegawai membawa indikasi kuat ikut mengikis dialek Gendong. Betapa tidak, disadari atau tidak masyarakat Desa Gendong harus beralih bahasa dari bahasa Gendong ke bahasa Indonesia yang dipakai para pendatang. Meskipun sampai sekarang intonasi pengucapan kosakata bahasa Indonesia tersebut masih menunjukkan ciri khas bahasa Gendong.
Berikut adalah kosakata bahasa Gendong yang masih hidup sampai sekarang, yaitu lampangan alih-alih lapangan, gorengang alih-alih gorengan, bakwang alih-alih bakwan, mendowang alih-alih mendoan, satam alih-alih satpam, alo alih-alih ponakan (anak kakak), prunan alih-alih ponakan (anak adik), yonan alih-alih iya, mborao alih-alih mungkin, mentu alih-alih metu, dilebi alih-alih ditutup, yak'e alih-alih menawane, harang alih-alih barang.
Sudah selayaknya kosakata bahasa Gendong sebagai sebuah dialek dipertahankan keberadaannya sebagai varian bahasa yang dapat memperkaya kosakata dialek Semarangan Bandingkan dengan dialek semarangan, sangat berbeda. (Suta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar